Kabar gembira bagi seluruh guru ditanah air baik yang telah disertifikasi maupun para calon guru sertifikasi, syarat 24 jam mengajar akan diubah karena dinilai memberatkan guru.
Kualitas guru paling menentukan kualitas pendidikan. Sebagus apapun kurikulum yang digunakan bila tidak ditunjang kualitas guru yang mumpuni, hasil yang diperoleh tidak akan bisa memenuhi harapan.
“Kurikulum yang ada akan jalan terus. Tapi kurikulum itu hanya nama (bagian luar). Bukan berarti kurikulum itu tidak penting, tapi gurunyalah yang harus ditingkatkan. Kurikulum sebaik apa pun, kalau gurunya tidak berkualitas juga akan percuma,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi dalam simposium pelantikan Perhimpunan Keluarga Besar (KB) Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Timur 2016- 2020 di Hotel Elmi, Surabaya, kemarin.
Menurut Muhadjir, apa yang dimaksud dengan kurikulum sebenarnya telah disampaikan guru kepada siswa ketika mengajar. “Kurikulum itu sebetulnya silabus, dan itu sudah disampaikan guru ketika guru di depan kelas. Jadi yang disampaikan itu sudah sama dengan kurikulum, ya itulah kurikulum.
Maka itu, kualitas pendidikan tidak ditentukan pergantian kurikulum, sangat ditentukan kualitas guru,” tandasnya. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini menerangkan, sedikitnya ada tiga parameter yang menentukan kualitas guru. Ketiganya ditentukan tiga parameter yakni expert (keahlian) atau profesionalisme, tanggung jawab sosial pada kualitas pendidikan, dan panggilan hidup.
“Kalau guru itu memiliki tiga parameter itu, dia akan tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan ekstremnya, tanpa kurikulum pun, guru akan tetap bisa jalan. Kalau kita fokus pada kurikulum dan mengabaikan kualitas guru, pendidikan yang berkualitas akan sulit tercapai,” tandasnya.
Untuk mendorong peningkatan kualitas guru, Muhadjir berencana mengubah syarat mengajar 24 jam yang selama ini harus dipenuhi guru untuk memperoleh tunjangan sertifikasi. Muhadjir melihat, akibat kebijakan tersebut banyak guru berlomba mengajar di berbagai sekolah demi memenuhi syarat mengajar 24 jam.
Namun, hal ini dilakukan karena mengejar materi alias tunjangan, bukan karena keterpanggilan jiwa. “Keharusan mengajar 24 jam itu juga banyak yang melanggar, dan itu akan saya hapus. Jadi tidak perlu harus 24 jam, mungkin cukup 12 jam. Yang lain bisa diisi dengan kegiatan selain mengajar, seperti kursus atau kegiatan lainnya. Jika perlu, siswa tidak usah kursus di tempat lain.
Kursus, mengaji, dan sebagainya bisa dilakukan di sekolah,” paparnya. Muhadjir mengakui sebenarnya memang tidak mudah menjadi guru karena menjadi guru adalah panggilan hati, bukan semata-mata mencari uang. Karena itu, Muhadjir melihat di sinilah problem utama pendidikan yang harus dibenahi.
“Saya baru menjabat 10 hari, belumlah. Saya rekap dulu kita lihat di mana persoalannya yang paling pokok. Guru saya jadikan titik simpul untuk mengurai pelayanan yang lain,” kata dia. Ketua Dewan Pendidikan Jatim Zainudin Maliki mendukung rencana Mendikbud untuk menghapus keharusan guru mengajar 24 jam. “Ini sangat penting. Jangan guru disandera dengan sertifikat yang pada akhirnya hanya memunculkan pabrik sertifikat, bukan menggali kompetensi.
Kalau mau memberi kesejahteraan, beri saja. Jangan dikaitkan dengan sertifikasi,” tandasnya. Zainudin berpendapat, guru harus lebih banyak mendorong siswa untuk aktif dan kreatif. Guru juga harus bisa membuat situasi belajar yang efektif dan menyenangkan. “Dan di sinilah guru banyak yang lemah, mereka hanya ingin siswa lulus.
Guru yang profesional itu tidak banyak bicara tapi mendorong siswa untuk aktif sehingga kepribadian siswa juga akan terbentuk dan mengalami langsung adanya kesulitan, kemudian guru juga bisa dinilai dalam kinerja melalui penilaian otentik, bukan dinilai dari sertifikasi dengan beban 24 jam mengajar,” katanya.
Selain pengurangan jam mengajar, ketua umum Perhimpunan KB PII Jatim itu mengusulkan dilakukannya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Setelah itu, barulah kurikulum dibenahi dengan kurikulum yang terintegrasi. Yang dimaksud yaitu keterhubungan pembelajaran dalam suatu bidang yang memungkinkan keterlibatan lebih dari satu bidang studi.
Bisa jadi, ketika satu pelajaran bisa dibantu dengan guru mata pelajaran lainnya, sebab pelajaran yang ada cukup terintegrasi. “Harus ada perubahan kurikulum dan saya rasa momentum ini cukup tepat. Harus ada perubahan sebab kurikulum saat ini juga masih dualisme. Perlu kurikulum terintegrasi di bawah 9 mata pelajaran,” tandasnya.
(Sumber : koran-sindo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar