Penyebaran
Islam menurut sejumlah catatan
Berbagai teori perihal masuknya Islam
ke Indonesia terus muncul sampai saat ini. Fokus diskusi mengenai kedatangan
Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni tempat asal
kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Seperti banyak
diketahui jika daerah penghasil batu kapur yaitu Kota Barus (Sibolga-Sumatra
Utara) sudah digunakan oleh para firaun di mesir untuk proses pemakaman mumi
firaun. Berdasarkan hal tersebut membuktikan jika jauh sebelum islam datang,
masyarakat Nusantara sudah berhubungan dengan dunia luar. Ada kemungkinan Islam
sudah masuk di Nusantara terjadi pada masa Kenabian atau masa hidupnya Nabi
Muhammad. Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di
kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya
menjadi tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat,
India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui
peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia
langsung dari Timur Tengah melalui
jasa para pedagang Arab muslim
sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui
peran para pedagang asal Persia yang dalam
perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Mereka berargumen akan fakta bahwa banyaknya ungkapan dan kata-kata Persia
dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan bahkan juga Jawa.[1] Melalui Kesultanan Tidore yang juga
menguasai Tanah Papua,
sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai
Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Kalau Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).[2] Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M
semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M),
memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu
ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini
adalah raja Jay Sima,
putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.[3] Namun menurut Hamka sendiri,
itu terjadi tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.[4]
Pada tahun 718 M raja Srivijaya Sri
Indravarman setelah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717
- 720 M) (Dinasti Umayyah)
pernah berkirim surat dengan Umar bin Abdul Aziz sekaligus berikut menyebut
gelarnya dengan 1000 ekor gajah, berdayang inang pengasuh di istana 1000 putri,
dan anak-anak raja yang bernaung di bawah payung panji. Baginda berucap terima
kasih akan kiriman hadiah daripada Khalifah Bani Umayyah tersebut.[5] Dalam hal ini, Hamka
mengutip pendapat SQ Fatimi yang membandingkan dengan The Forgotten
Kingdom Schniger bahwa memang yang dimaksud adalah Sriwijaya
tentang Muara Takus, yang
dekat dengan daerah yang banyak gajahnya, yaitu Gunung
Suliki. Apalagi dalam rangka bekas candi di sana, dibuat patung
gajah yang agaknya bernilai di aana. Tahun surat itu disebutkan Fatemi bahwa ia
bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ, Hamka menepatkan bahwa Islam
telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.[6]
Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan
adalah bahwa adanya kitab Izh-harul Haqq fi Silsilah Raja Ferlak yang
ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari daerah Makran, Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada 225
H/847 M diperintah berturut-turut oleh delapan sultan.[7]
Sanggahan
Teori Islam Masuk Indonesia abad 13 melalui Pedagang Gujarat
Teori Islam Masuk Indonesia abad 13
melalui pedagang Gujarat, menurut pendapat sebagian besar orang, adalah
tidaklah benar. Apabila benar maka tentunya Islam yang akan berkembang
kebanyakan di Indonesia adalah aliran Syi'ah karena Gujarat pada masa itu
beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan Islam di Indonesia didominasi
Mazhab Syafi'i.
Sanggahan lain adalah bukti telah
munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti
Maimun (1082M) di Gresik.[8]
Anak-anak mengaji Al
Quran di Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda
Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada
perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke
Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC,
sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh.
Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk
aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah
terpotong.
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang
tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya,
ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para
ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik
pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan
penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh
dan berkembang pada abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah.
Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam
yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad
melawan penjajah Belanda.
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan
Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din
Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak
berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka ialah Muhammad Djamil
Djambek dan Abdul Karim
Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan
berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun
1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran
pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian,
di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[9]
Demografi
Sebagian besar ummat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia
bagian Barat, seperti di pulau Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan untuk
wilayah Timur, penduduk Muslim banyak yang menetap di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat,
dan Maluku Utara dan
enklave tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten Alor, Fakfak, Haruku, Banda, Tual dan
lain-lain.
Pengadaan transmigrasi dari Jawa
dan Madura yang secara besar-besaran
dilakukan oleh pemerintahan Suharto selama
tiga dekade ke wilayah Timur Indonesia telah menyebabkan bertambahnya jumlah
penduduk Muslim disana.
Arsitektur
Islam sangat banyak berpengaruh
terhadap arsitektur bangunan
di Indonesia. Rumah
Betawi salah satunya, adalah bentuk arsitektur bangunan yang
banyak dipengaruhi oleh corak Islam. Pada salah satu forum tanya jawab di situs
Era Muslim[10], disebutkan bahwa Rumah Betawi yang memiliki teras lebar, dan
ada bale-bale untuk tempat berkumpul, adalah salah satu ciri
arsitektur peradaban Islam di Indonesia.
Masjid Raya Medan al Ma'shun, adalah
salah satu ciri bangunan berarsitektur Islam yang ada di Indonesia
Masjid adalah tempat ibadah Muslim
yang dapat dijumpai diberbagai tempat di Indonesia. Menurut data Lembaga Ta'mir Masjid Indonesia, saat ini
terdapat 125 ribu masjid yang dikelola oleh lembaga tersebut, sedangkan jumlah
secara keseluruhan berdasarkan data Departemen Agama tahun 2004, jumlah
masjid di Indonesia sebanyak 643.834 buah, jumlah ini meningkat dari data tahun
1977 yang sebanyak 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di
Indonesia saat ini antara 600-800 ribu buah.[11] Adapun menurut penuturan
Komjen Pol Syafruddin Wakil
Ketum Dewan Masjid
Indonesia menyebut sesuai data tahun 2017, bahwa Indonesia
memiliki sekitar 800 ribu masjid. Dalam pada itu, pengelolaan masjid di
Indonesia berbeda dengan masjid di negara lain. Pemerintah tak secara langsung
membangun dan mengelola masjid, tetapi lewat swadaya masyarakat, begitu juga
dalam hal pengelolaannya.[12]
Pendidikan
Pesantren adalah salah satu sistem
pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan
unik, juga dianggap sebagai sistem pendidikan paling tua di Indonesia.[13] Di Indonesia, Kementerian
Agama merupakan pemangku tanggung jawab pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan menyiapkan rencana strategis yang ditetapkan melalui Keputusan
Menteri Agama Nomor 39 tahun 2015. Hal-hal yang ada di sana kemudian dituangkan
dalam rumusan tugas dan fungsi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag
sesuai Peraturan Menteri Agama Nomor 42 tahun 2016. Lingkup layanan Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren meliputi jalur pendidikan formal, yang
mencakup pendidikan diniyah formal, satuan pendidikan muadalah, dan ma'had
'ali. Pendidikan diniyah non formal mencakup madrasah diniyah
takmiliyah, pendidikan al-Quran, dan program pendidikan kesetaraan serta pondok
pesantren sebagai penyelenggara maupun satuan pendidikan.[14] Selain itu, dalam
pendidikan Islam di Indonesia juga dikenal adanya Madrasah Ibtidaiyah (dasar), Madrasah Tsanawiyah (lanjutan),
dan Madrasah Aliyah (menengah).
Untuk tingkat universitas Islam di Indonesia juga kian maju seiring dengan
perkembangan zaman, hal ini dapat dilihat dari terus beragamnya universitas
Islam. Hampir disetiap provinsi di
Indonesia dapat dijumpai Institut
Agama Islam Negeri serta beberapa universitas Islam lainnya
seperti Universitas Islam Negeri (UIN) dengan nama yang berbeda-beda
berdasarkan nama tokoh penyiaran islam masa lampau semisal di Makassar dengan
nama Universitas Islam Negeri Sultan Alauddin disingkat (UINAM).
Berdasar pada data dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam pada awal 2018, dari 326.327 lembaga pendidikan Islam
yang dinaungi, 76,1% atau 248.290 lembaga merupakan pendidikan diniyah dan
pondok pesantren. Terbagi lagi menjadi 28.194 pondok pesantren, 84.966 madrasah
diniyah takmiliyah, serta pendidikan al-Quran sebanyak 135.130. Selebihnya
23,9% lembaga pendidikan Islam lainnya terbagi jadi raudhatul athfal (27.999),
madrasah ibtidaiyah (24.560), madrasah tsanawiyah (16.934), madrasah aliyah (7.843)
dan perguruan tinggi agama (756). Itu belumlah mencakup sejumlah lembaga
pendidikan yang berupa program pendidikan kesetaraan pada pondok pesantren
(1.508), pendidikan diniyah formal (59), pendidikan muadalah (80), dan ma'had
'aliy (29).[14]
Kemudian berbicara mengenai statistik
lainnya, dari total 2.378.566 tenaga pendidik, 63% atau 1.4999.859 mengajar di
pendidikan diniyah dan pondok pesantren. Para pengajar ini bertanggung jawab
pada 18.196.034 siswa atau 64,2% dari semua peserta didik pendidikan Islam
(28.324.088 orang).[14]
Politik
Dengan mayoritas berpenduduk Muslim, politik di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
dan peranan umat Islam. Kebangunan akan
kesedaran berpolitik ini diawali kalangan kaum haji yang
membawa kabar-kabar akan serangan Prancis terhadap Maroko,
umat Islam Libya diserang,
dan gerakan nasionalis Mesir melawan imperialis Inggris. Ini juga membentuk perasaan setia
kawan sesama kaum Muslimin, dan membangkitkan ketidaksukan terhadap
kolonialisme dan imperialisme Eropa.[15] Walau demikian, Indonesia
bukanlah negara yang berasaskan Islam, namun ada beberapa daerah yang diberikan
keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam, seperti Aceh.
Seiring dengan reformasi 1998,
di Indonesia jumlah partai politik Islam kian bertambah. Pada Pemilu
1999, 17 partai Islam—yaitu 12 partai Islam dan 5 partai lain
berazaskan Islam dan Pancasila—ikut berlaga dalam pemilihan tersebut. Kesiapan
mereka dalam hal administrasi—terkecuali PPP yang memang sudah tua—mengagumkan
mengingat mereka dapat mengikuti segala syarat pemilu yang cukup ketat, serupa
bahwa setiap partai harus punya cabang sekurangnya di 14 provinsi. Namun
demikian, seluruh partai Islam itu kalah jauh dari PDI yang meraup sekitar 34%
suara.[16] Dalam Pemilu tersebut, PPP
meraih 11.329.905 suara (10,7 persen) dan bercokol pada peringkat ketiga,[17] karena itu Partai Persatuan
Pembangunan meraih 5 besar. Partai Bulan Bintang mampu membentuk fraksi sendiri
walau cuma 13 anggota, dan Partai Keadilan hanya memperoleh 7 kursi DPR saja.[16] Bila sebelumnya hanya ada
satu partai politik Islam, yakni Partai
Persatuan Pembangunan-akibat adanya kebijakan pemerintah yang
membatasi jumlah partai politik, pada pemilu 2004 terdapat enam partai politik
yang berasaskan Islam, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan, Partai
Keadilan Sejahtera, Partai Bintang
Reformasi, Partai Amanat
Nasional, Partai
Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan
Bintang.
3 komentar:
Bapaaaa
E283ieg3hw8wugw2i2928363782283672hege8283ygesy8ehegdu2u37dgve373uehe8e83y3i49r843893i4834771910009210201011029201011010101011111111111q
Bagussss
Posting Komentar