Senin, 22 September 2014

PAKU JAJAR DI GUNUNG PARANG

Carita Asal-Usul Kota Sukabumi
Oleh : Endang Sumardi
Nyusuk catur munday carita karuhun Pagadungan papantunan Padjadjaran seseleh kana papasten teungteuingeun musuh taya rasrasan deudeuh teuing nu geulis Nyi Pudak Arum pasini henteu ngajadi PakuJajar di Gunung Parang gugupay ngaharewos talatah Ki Wangsa Suta Tegal Kole waris salin ngaran Sukabumi dayeuh manggung Artinya: Menggali omongan secara mendalam untuk mendapatkan ceritera dari para leluhur 

Pagadungan berceritera pantun Padjadjaran berserah pada perkara yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa tega sekali musuh tidak memiliki sedikitpun rasa iba sayang sekali si cantik Nyi Pudak Arum janjinya tidak terjadi Paku Jajar di Gunung Parang melambai-lambai berbisik amanat Ki Wangsa Suta Tegal Kole memiliki waris berganti nama Sukabumi kota yang senantiasa  mempertontonkan kebolehannya di atas pentas Demikian rumpaka atau lirik lagu Paku Jajar Di Gunung Parang, karya salah seorang sastrawan sekaligus budayawan Kota Sukabumi, almarhum Ki Anis Djatisunda, yang memiliki sandi asma atau nama samaran Ki Rakean Puraga Sastra. Menurut Ki Anis
Djatisunda, lagu tersebut diambil dari kisah sebuah dongeng atau ceritera kejadian asal-usul Kota Sukabumi, yakni Paku Jajar di Gunung Parang, yang kejadiannya kira-kira pada jaman Padjadjaran
Runtag atau Runtuh, yakni pada abad ke-16, akibat digempur oleh pasukan Kesultanan Banten, yang dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Dijelaskannya, Sukabumi yang terletak di antara kaki Gunung Gede dan kaki Gunung Salak, pada masa itu disebut Tatar Pagadungan.
Ada pula yang menyebut Tanah Awatan Pagadungan dan Papanah Awatan Pagadungan. Tatar atau wilayah tersebut, berada dibawah kekuasaan Padjadjaran Tengah, wilayah Bogor. Pada saat Padjadjaran digempur oleh pasukan Kesultanan Banten, yang dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak, Tatar Pagadungan pun tidak luput digempur oleh pasukan
tersebut. Adapun pusat Kabupaten Pagadungan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kadatuan Pamingkis ini, kira-kira berada di daerah Gunung Walat, dekat daerah Cibadak sekarang. Sedangkan yang menjadi Bupati atau Datu pada masa itu, bernama Ki Ranggah Bitung. Sementara isterinya bernama Nyai Raden Puntang Mayang.

Dalam pertempuran tersebut, Pusat Kabupaten Pagadungan porak poranda, serta dibakar hingga hangus. Selain itu, dalam pertempuran tersebut, Bupati atau Datu Ki Ranggah Bitung gugur di medan perang. Sedangkan isterinya, Nyai Raden Puntang Mayang, pada saat itu sedang mengandung anak
pertamanya. Untuk menyelematkan Nyai Raden Puntang Mayang, Jaro atau Lurah Kadatuan Pamingkis yang bernama Ki Jaro Loa Kutud dan isterinya bernama Nini Rumpay Tanggeuy ingsang, membawanya mengungsi. Mula-mula ke Gunung Bongkok, kira-kira di daerah Cibadak. Di Gunung Bongkok, Ki Jaro Loa Kutud dan isterinya, mendapat keterangan dari Resi Tutug Windu, bahwa Nyai Raden Puntang Mayang, harus dibawa mengungsi ke Gunung Sunda, yang letaknya berada di daerah Palabuhan Ratu. Setelah mendapat keterangan dari Resi Tutug Windu, Nyai Raden Puntang Mayang pun dibawanya ke gunung tersebut, oleh Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya. Di tengah perjalanan tepatnya di sebuah hutan menuju Gunung Sunda, Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang Mayang, menemukan salah seorang anak laki-laki yang memiliki wajah jelek sekali, karena mukanya seperti Monyet atau Kera, kira-kira berumur antara 6 sampai dengan 7 tahun. Setelah ditanya oleh Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang Mayang, anak tersebut berasal dari mana, termasuk nama orang tuanya (ibu dan ayahnya) siapa?, anak tersebut tidak mau menjelaskannya. Anak tersebut hanya mengatakan berada di hutan itu karena ada yang membawa, pada saat kampung halamannya
dibakar. Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang Mayang, memiliki keyakinan, bahwa anak tersebut bukan anak orang kebanyakan. Lantas anak tersebut dibawanya mengungsi ke Gunung Sunda. Dalam pengungsiannya di Gunung Sunda, Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, memanja dan menjaga Nyai Raden Puntang Mayang dengan baik, hingga tiba saatnya melahirkan seorang anak perempuan, yang diberi nama, Nyai Raden Pudak Arum, ada juga yang menyebut, Nyai Arum Pudak Saloyang. Nama tersebut diambil dari nama Bunga Jaksi, yang disebut Pudak.
Sedangkan Arum diambil dari Harum atau Wangi Bunga Jaksi. Atau
nama tersebut bisa diartikan Bunga Jaksi yang Harum.
Demikian pula anak laki-laki yang ditemukan di tengah perjalanan
menuju Gunung Sunda, dirawat dan dipelihara dengan baik oleh Ki
Jaro Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang,
termasuk oleh Nyai Raden Puntang Mayang, serta diberi nama,
Wangsa Suta.
Karena Nyai Raden Pudak Arum dan Wangsa Suta hidup dan
dibesarkan pada tempat yang sama serta oleh orang-orang yang
sama pula, maka pada saat menginjak dewasa, kedua anak tersebut
saling sayang menyayangi, yang akhirnya pada-pada jatuh cinta,
serta saling berjanji akan sehidup semati, yang akan diikat dengan
tali perkawinan.
Namun kendati Wangsa Suta telah mengikat janji dengan Nyai
Raden Pudak Arum, Wangsa Suta memiliki keinginan untuk
berkelana mencari ilmu terlebih dahulu. Setelah mendapat ijin dari Ki
Jaro Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang,
termasuk oleh Nyai Raden Puntang Mayang, beserta puterinya, Nyai
Raden Pudak Arum, Wangsa Suta pun pergi menyusuri hutan,
hingga sampailah ke sebuah hutan, yang letaknya di sebelah selatan
Gunung Walat, tepatnya dekat daerah Cikembar sekarang. Di hutan
tersebut, Wangsa Suta bertemu dengan seorang resi, bernama Resi
Saradea. Setelah mengemukakan maksud dan tujuannya kepada
Resi Saradea, Wangsa Suta diterima menjadi murid Resi Saradea,
serta diberi pelajaran berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan,
termasuk ilmu kesaktian, ilmu membangun, ilmu perang, dan
sebagainya.
Pada suatu hari, setelah Wangsa Suta memiliki berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan serta kesaktian yang cukup, Resi
Saradea berpesan kepada Wangsa Suta, agar sebelum
melangsungkan pernikahan dengan Nyai Raden Pudak Arum,
Wangsa Suta harus membuat sebuah kampung terlebih dahulu di
Gunung Parang, tepatnya di sebuah tempat yang miring ke sebelah
selatan, yang ada pohon Kiara Kembar dan pohon Paku Jajar yang
bercabang atau berdahan lima, serta banyak pohon Kole atau Pisang
Hutan, yang berdaun ungu dan berbunga hijau. Setelah tempat
tersebut ditemukan, Wangsa Suta tidak menyia-nyiakan waktu, ia
segera membuat kampung sesuai dengan pesan yang disampaikan
oleh Resi Saradea. Menurut keterangan dari berbagai sumber yang
disampaikan kembali oleh almarhum Anis Djatisunda, bahwa pohon
Kiara Kembar tersebut, berada di sekitar Lapangan Merdeka Kota
Sukabumi sekarang. Sementara pohon Paku Jajar yang bercabang
atau berdahan lima, berada di Jalan Martadinata sekarang, tepatnya
pada lahan yang digunakan HBC (Home Builders Center) Sukabumi.
Sedangkan Nyai Raden Pudak Arum, pada saat Wangsa Suta
berkelana mencari ilmu dan membuat kampung di Gunung Parang,
nama dan kecantikannya terdengar ke berbagai pelosok daerah,
sehingga banyak bangsawan dan para pembesar yang hendak
mempersuntingnya.
Pada suatu hari, datang seorang utusan Demang Sukamukti, yang
maksudnya meminang Nyai Raden Pudak Arum, untuk dijadikan selir
demang tersebut. Pada kesempatan tersebut, baik Ki Jaro Loa Kutud
beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, maupun Nyai
Raden Puntang Mayang, tidak bisa mengambil keputusan atas
kehendak demang tersebut, yang akhirnya mereka menyerahkannya
kepada Nyai Raden Pudak Arum. Namun kehendak demang
tersebut, ditolak secara baik-baik oleh Nyai Raden Pudak Arum,
karena ia sudah bertunangan dengan Wangsa Suta. Akan tetapi
utusan demang tersebut memaksanya secara kasar, yang akhirnya
terjadilah perkelahian dengan Nyai Raden Pudak Arum. Dalam
perkelahian tersebut, karena Nyai Raden Pudak Arum termasuk
salah seorang perempuan yang tomboy serta memiliki ilmu kesaktian
yang luar biasa, ia berhasil mengambil keris kepunyaan utusan
demang tersebut, serta dilengkung-lengkungkannya hingga hampir
patah, di depan mata utusan demang tersebut, sehingga utusan
demang tersebut merasa kaget dan malu. Namun demikian, kendati
Nyai Raden Pudak Arum memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa,
akhirnya bisa ditangkap sekaligus dibawa untuk dipersembahkan
kepada Demang Sukamukti. Namun aneh bin ajaib, ketika akan
mempersunting Nyai Raden Pudak Arum, Demang Sukamukti
meninggal dunia secara tiba-tiba, sehingga Nyai Raden Pudak Arum
selamat dan berhasil melarikan diri.
Kabar kecantikan Nyai Raden Pudak Arum tersebut, juga terdengar
oleh bangsawan-bangsawan kaya, khususnya yang tinggal di
Padabeunghar sekarang. Adapun sebab-musebabnya disebut
Padabeunghar, karena di tempat tersebut banyak bangsawan
“beunghar” atau “kaya”. Hal tersebut sesuai dengan namanya
Padabeunghar, yakni pada-pada atau sama-sama “beunghar” atau
“kaya”.
Bangsawan-bangsawan tersebut, sama-sama ingin mempersunting
Nyai Raden Pudak Arum. Namun nasib bangsawan-bangsawan
tersebut, tidak jauh berbeda dengan nasib Demang Sukamukti.
Karena setiap bangsawan-bangsawan tersebut akan mempersunting
Nyai Raden Pudak Arum, senantiasa mengalami nasib yang sama
dengan Demang Sukamukti, yakni meninggal dunia secara tiba-tiba.
Demikian pula nasib yang dialami oleh salah seorang yang kaya
raya, bernama Ki Puru Sastra, yang berhasil mempersunting Nyai
Raden Pudak Arum, ketika akan tidur bedua bersama Nyai Raden
Pudak Arum, Ki Puru Sastra juga meninggal dunia secara tiba-tiba.
Selain itu, juga salah seorang haji yang tinggal di daerah Cantayan,
yang memiliki isteri lebih dari 20 orang, namanya Haji Ijamal’an, pada
saat akan melamar Nyai Raden Pudak Arum, di pertengahan jalan
disambar petir, hingga meninggal dunia seketika. Perlu dijelaskan,
pada waktu itu, di Tatar Pagadungan sudah ada haji, karena agama
Islam sudah masuk, serta penganutnya sudah cukup banyak.
Kabar tentang kecantikan dan kesaktian Nyai Raden Pudak Arum,
serta banyaknya korban laki-laki yang meninggal dunia secara tiba-tiba tersebut, pada suatu hari terdengar oleh Demang atau Lurah
Mangkalaya, bernama Demang Kartala, tepatnya di daerah Cisaat
sekarang. Demang tersebut mempunyai salah seorang penasehat
orang Jawa, bernama Sakatana. Menurut Sakatana, perempuan
yang bernama Nyai Raden Pudak Arum tersebut, lebih baik dibunuh
saja, karena perempuan tersebut sangat “sangar” atau pembawa sial
dan celaka. Pendek kata, Nyai Raden Pudak Arum berhasil
ditangkap, lalu kedua tangan dan kakinya diikat, untuk dihukum pati,
dengan cara dipenggal lehernya.
Sementara Wangsa Suta yang sedang membuat kampung di
Gunung Parang, sengaja pergi ke daerah Mangkalaya, karena
merasa tidak enak hati. Namun ketika sampai di daerah Mangkalaya,
Wangsa Suta merasa kaget yang tiada tara, karena mendapat kabar
Nyai Raden Pudak Arum akan dihukum pati, dengan cara dipenggal
lehernya, atas perintah Demang Mangkalaya. Namun pada saat
salah seorang algojo akan memenggal leher Nyai Raden Pudak
Arum dengan sebuah golok, Nyai Raden Pudak Arum berhasil
diselamatkan oleh Wangsa Suta, seraya berbisik kepada Nyai Raden
Pudak Arum, agar menunggunya di Gunung Parang, tepatnya di
bawah pohon Paku Jajar yang bercabang atau berdahan lima.
Setelah berbisik kepada Nyai Raden Pudak Arum, Wangsa Suta
berkelahi dengan salah seorang algojo. Namun pada saat Wangsa
Suta sedang berkelahi dengan salah seorang algojo tersebut, Nyai
Raden Pudak Arum berhasil ditangkap kembali oleh dua orang algojo
lainnya. Selanjutnya kedua tangan dan kakinya diikat kembali, serta
dimasukan ke dalam sebuah karung dan diikat sangat erat, yang
selanjutnya dibawa dan dijual ke Pulau Puteri, ada pula yang
menyebut ke Kepulauan Seribu, yang letaknya berada di teluk
Jakarta, tanpa sepengetahuan Wangsa Suta. Karena pada saat
sedang berkelahi dengan salah seorang algojo tersebut, Wangsa
Suta mengira, bahwa Nyai Raden Pudak Arum berhasil melarikan
diri, serta sudah sampai dan menunggu di Gunung Parang. Setelah
berhasil membunuh salah seorang algojo tersebut, Wangsa Suta
cepat-cepat pergi ke Gunung Parang, untuk menemui Nyai Raden
Pudak Arum. Namun setelah sampai di Gunung Parang, Wangsa
Suta sangat terkejut, karena Nyai Raden Pudak Arum tidak ada di
Gunung Parang. Lantas Wangsa Suta memanggil gurunya, Resi
Saradea, yang pada saat Wangsa Suta pergi untuk membuat
kampung di Gunung Parang, Resi Saradea pun pindah ke Gunung
Arca, tepatnya tidak jauh dari Pasir Bedil, atau berada di sebelah
barat dari daerah Cijangkar Nyalindung sekarang.
Setelah dipanggil oleh Wangsa Suta, Resi Saradea pun datang,
seraya berkata kepada Wangsa Suta, yang isinya meminta agar
jangan mencari dan memikirkan Nyai Raden Pudak Arum. Karena
Nyai Raden Pudak Arum sedang diutus oleh waktu dan diperintah
oleh zaman. Selain itu, ia juga meminta kepada Wangsa Suta, agar
menunggu waktu kembalinya Nyai Raden Pudak Arum ke Gunung
Parang, yang waktu dan zamannya sudah berbeda dan berganti,
yakni apabila Gunung Parang sudah dipenuhi oleh rumah, dan Tegal
Kole sudah berubah menjadi Kota. Karena pada saat itu, akan ada
salah seorang perempuan cantik, yang suka membimbing
masyarakat, khususnya masyarakat yang sedang menderita baik
lahir maupun batin, serta senantiasa memberikan motivasi dan
membesarkan hati perempuan, ter-utama perempuan yang disakiti
oleh suaminya. Perempuan tersebut, menurut Resi Raradea, titisan
Nyai Raden Pudak Arum. Pada waktu itulah, antara Wangsa Suta
dengan Nyai Raden Pudak Arum dapat bertemu dan bersatu
kembali. Wallahu alam bishawab!

Tidak ada komentar:

Share

Komentar

Selamat Datang

1

2

3

Pengunjung

Flag Counter

SMS Gratis


Make Widget