Sekolah itu candu. Demikian ungkap mantan Perdana Menteri
Inggris, Margaret Thatcher. Tak berlebihan memang, jika melihat profil
sekolah yang kini menjadi semakin bias perannya dan cenderung bersifat
formalitas.
Celakanya, kapitalisasi pendidikan menyebabkan
sekolah kena dampaknya, yakni terjadinya fenomena disorientasi tujuan
pendidikan. Sekolah menjadi mandul untuk menghasilkan peserta didik yang
berpengetahuan luas, berkarakter, serta memiliki keterampilan hidup.
Sedih
rasanya, jika mencermati sekolah hanya berfungsi sekadar menjadi tempat
lalu-lalang guru dan murid. Interaksi "jual beli pengetahuan" antara
guru dan murid hanya berlangsung dalam sebuah kotak ajaib bernama ruang
kelas. Kehangatan hubungan antara guru dan murid semakin jarang, karena
terlalu fokus untuk menuntaskan pencapaian materi kurikulum dan
persiapan menghadapi ujian sekolah.
Pengajaran jadi agenda utama
aktivitas di sekolah. Proses pembinaan dan peneladanan kerap diabaikan.
Padahal, Inkeles & Dreeben (1968) percaya bahwa sekolah dapat
memberikan efek terhadap sikap hidup para pelakunya, hanya melalui
proses interaksi sosial yang berlangsung di sekolah. Bukan karena faktor
pemberian materi pengajaran.
Sekolah benar-benar telah
kehilangan kewibawaannya. Contoh, sekolah tidak memiliki standar
kriteria dalam pemberian penghargaan dan hukuman bagi para siswanya.
Aneh
rasanya, jika semua siswa "dipaksa" untuk lulus ujian di bidang
akademik. Padahal faktanya, ada sebagian dari mereka memang tidak
berbakat di bidang itu.
Di sisi lain, para siswa yang menonjol
di bidang non-akademik justru kurang mendapatkan perhatian dan fasilitas
untuk berkembang. Ujian nasional mendapat tempat utama untuk menguji
kemampuan akademik siswa. Namun, anak yang hebat membuat komik,
misalnya, mereka harus gigit jari karena tidak ada ujian nasional
membuat komik. Nasib serupa akan dirasakan siswa yang memiliki kehebatan
di bidang non-akademik lainnya.
Sistem persekolahan kita belum
mampu menjadikan guru sebagai sumber inspirasi keteladanan, sosok yang
layak digugu dan ditiru. Di mana guru melalui perilakunya sehari-hari di
dalam kelas, dijadikan model oleh para siswa.
Bagaimana mungkin guru bisa menjadi teladan kalau bekerjanya tak pernah bisa sepenuh hati. Hidupnya dibiarkan apa adanya.
Ada
apa dengan hidup guru, itu tak pernah dijadikan persoalan serius oleh
pemerintah kita. Gurunya saja naik sepeda ontel, sedangkan siswanya
turun dari sedan BMW, apa kata dunia?
Profesi guru kerap
dilecehkan, bahkan diinjak-injak. Wajar rasanya jika sekolah tak pernah
disesaki oleh guru yang layak diteladani oleh siswanya.
Mereka
yang hadir di depan kelas mungkin tak harus peraih penghargaan "guru
teladan". Tetapi, mereka adalah orang pilihan yang paham akan tugas dan
tanggung jawabnya yang teramat besar.
Dalam bingkai cerita yang
sama, sekolah harus kita amankan dari ancaman perilaku monopoli. Bowles
& Gintis (1975) menyebutnya dengan istilah "penjinakan". Artinya,
sekolah jadi tempat utama untuk menghasilkan peserta didik yang manut
pada sistem yang dibuat di sekolah.
Kesadaran kritis siswa menjadi tumpul karena mereka hanya mempelajari semua yang ada di buku. Generasi
text book thinking,
produk sekolah macam ini. Parahnya, apa yang mereka pelajari di buku
pun kadang tak pernah benar-benar mereka pahami dan lakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Sekolah ini dimiliki oleh mereka yang mengklaim
dirinya "penguasa sekolah".
Kekuasaan dan uang berlimpah mereka
investasikan di sekolah, dengan maksud untuk melanggengkan keinginannya.
Apa yang ada di isi kepala penguasa sekolah, itulah visi sekolah yang
sesungguhnya.
School only for profit.
Andai sekolah
menjadi komoditas politik dan ekonomi, bencana terbesar bagi dunia
pendidikan kita. Pendidikan semakin kehilangan ruhnya. Sekolah hanya
akan menjadi tempat eksklusif, karena hanya dihuni peserta didik dari
kalangan kelas sosial tertentu saja.
Education for all, basa basi saja. Artinya, sekolah hanya akan menjadi lembaga yang direkayasa untuk melanggengkan kelas sosial tertentu.
Collins
(1971) menyebut sekolah sebagai tempat untuk mendapatkan "modal
budaya". Karena itu, wajar jika sekolah dalam konteks ini lebih banyak
mengajarkan "budaya kelas atas". Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin banyak modal budaya yang mereka dapatkan untuk dapat
diterima budaya kelas sosial yang lebih tinggi.
Di masyarakat
modal budaya, kelas menengah atas selalu dihargai lebih tinggi untuk
menduduki jenis profesi bergengsi. Realita ini sekaligus menjawab
pertanyaan, mengapa banyak orang berlomba-lomba mengejar pendidikan
setinggi mungkin.
Gengsi dan eksistensi, ini alasan utama
bersekolah. Tegasnya, sekolah menjadi barang mahal karena hanya bisa
dijangkau oleh orang-orang berduit saja. Mereka akan bayar berapa pun
harganya demi mendapatkan akses dalam strata kehidupan kelas sosial
menengah atas. Celakanya lagi, bila sekolah macam ini menutup diri dari
kelas sosial bawah. Sesungguhnya, keberadaan sekolah tidak terlalu
menolong untuk merombak struktur sosial yang tak adil di masyarakat.
Orang miskin dilarang sekolah, inilah persoalan kita.
Dalam
bahasa UU Sisdiknas (UU RI No. 20 Tahun 2003), pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Mari cermati kalimat
itu.
Semua peserta didik harus belajar, tanpa kecuali. Sekolah,
salah satu tempat terbaik bagi peserta didik untuk belajar melalui
proses pembelajaran. Pembelajaran sendiri punya makna sebagai proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Tugas pemerintah adalah menyiapkan pendidik yang
profesional dan berkarakter, serta menyediakan segala infrastruktur
pendidikan agar peserta didik dapat belajar.
Ada apa dengan
sekolah kita? Mari lebih kritis melihat apa yang terjadi di sekolah agar
investasi di bidang pendidikan tidak seperti membeli kucing dalam
karung.
Oleh: Asep Sapa'atTeacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa