Jumat, 08 Februari 2013

Siswa Jangan Dijadikan Kelinci Percobaan Kurikulum Baru

JAKARTA - Sikap kekeuh Kementrian Pendidikan dan Kemdikbud untuk tetap melaksanakan Kurikulum 2013 mulai Juli tahun ini, mendapat sorotan serius dari DPR. Pasalnya, Komisi X DPR melihat masih banyak pihak yang menyangsikan efektifitas pelaksanaannya.Raihan Iskandar, Anggota Panja Kurikulum Komisi X DPR RI menyatakan, meski kurikulum itu wewenang pemerintah, namun DPR juga memiliki tugas pengawasan. Masalah bagaimana kurikulum ini direncanakan, dirancang dan diimplementasikan, adalah tugas DPR untuk melakukan pengawasannya.

"Kami harus memastikan bahwa kurikulum 2013 tersebut benar-benar siap sebelum diimplementasikan. Jika siap, maka anggaran kurikulum bisa disetujui oleh DPR. Jika tidak, maka DPR akan cenderung untuk membintangi anggaran tersebut," tegas Raihan di Senayan, Kamis (7/2).

Menurut dia, jika kurikulum ini dijalankan tanpa kesiapan yang utuh, maka akan berakibat fatal karena siswa-siswa yang jadi kelinci percobaan. Jika demikian, maka DPR jugalah yang terkena dosa publik karena telah menyetujui kurikulum 2013 serta anggarannya.

Politisi dari PKS ini juga menambahkan bahwa Kemdikbud jangan terlalu terburu-buru. Bahkan klaim Mendikbud Mohammad Nuh bahwa guru-guru telah siap, sangat dipertanyakan. Sebab kesiapan guru tidak memiliki parameter.

"Ketidaksiapan penerapan kurikulum ini justru dimulai pada hal yang sangat mendasar, yaitu dokumen kurikulum," jelasnya.

Dia menyebut dokumen tersebut masih jauh dari sempurna. Misalnya, standar yang berubah adalah hanya 4 yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses dan standar penilaian. Padahal PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengatur adanya 8 standar. Sedangkan standar standar pengelolaan dan standar pembiayaan belum diatur dengan jelas.

Raihan melanjutkan bahwa Kemdikbud pada awalnya mengajukan anggaran dana kurikulum ini sebesar Rp684 miliar pada Raker dengan Komisi X DPR RI. Kemudian berubah pada RKAKL menjadi Rp611 miliar. Akhirnya berubah lagi menjadi sebesar 1.457 triliun.

Anehnya, kata Raihan, beberapa hari yang lalu terdengar melonjak menjadi 2.4 triliun. Hal ini menunjukkan fenomena birokrasi yang tidak profesional, khususnya dalam hal perencanaan pengelolaan dan pembiayaan.

"Pada prinsipnya, keharusan perubahan kurikulum tidak bisa dinafikan, karena memang tuntutan zaman, tapi harus dipastikan terlebih dahulu kesiapan semuanya secara utuh," pungkasnya.(Fat/jpnn)

Share

Komentar

Selamat Datang

1

2

3

Pengunjung

Flag Counter

SMS Gratis


Make Widget