ADA yang menarik untuk dibincangkan di sini. Yakni program pengenalan studi siswa baru atau mahasiswa baru yang ada di Republik Antah Barantah. Bagi siswa SMD (Sekolah Menengah Duluan [baca SMP]) dan SMS (Sekolah Menengah Selanjutnya [baca SMA]).
Ada yang disebut dengan MOS, yakni singkatan dari Masa Orientasi Siswa. Atawa MOPD yang artinya Masa Orientasi Peserta Didik. Sementara bagi anak-anak kuliahan (mahasiswa), ada yang dinamankan OSPEK atow Orientasi Studi Pengenalan Kampus, yang kadang juga disebut Orientasi Pengenalan Kampus.
Tujuan diselenggarakannya program ini adalah untuk mengenal dunia sekolah atawa kampus baru tempat mereka menuntut ilmu. Juga untuk mendidik, mendewasakan dan menerpa mental para siswa atau mahasiswa baru agar lebih disiplin. Juga agar lebih sopan dan beradab. Tahu diri dan mencintai intuisi tempat mereka menimba air. Eh, menimba ilmu.
Program ini tidak selalu bernama MOS, MOPD atow OSPEK, kadang namanya disesuaikan dengan lembaga pendidikan yang ada. Namanya apa saja. Bebas. Terserah panitia penyelenggara. Apalagi kemasan acaranya, lebih terserah lagi. Lebih bebas. Terbuka. Apa saja. Terserah. Panitia punya daulat penuh. Punya kewenangan untuk menentukan format acara sesuai dengan isi perutnya. Kadang semaue dewe. Nyeleneh dan aneh-aneh.
Kewenangan ini digunakan oleh para senior untuk membuat aturan yang aneh binti ajaib. Dengan serta merta mereka membuat aturan yang harus ditaati selama mengikuti program studi. Aturan itu menjelma menjadi titah yang mutlak, bahkan tak boleh dibantah oleh para siswa atau mahasiswa baru yang masih ngah-ngoh (culun) itu. Bagi siapa saja yang melanggar, akan diberi sangsi. Bentuk sangsinya terserah para panitia yang berkuasa. Junior disuruh begini dan begitu. Macam-macam.
Ada yang disuruh pakai sepatu sebelah, pakai kaca mata kuda, pakai tas dari kantong kresek yang diikat tali rapia, pakai topi kurucut, topi setengah lingkaran dari bola plastik yang dipotong jadi dua, rambut dikepang dan dikucir banyak dengan pita warna warni, de el el, de el el. Mirip orang gila.
Ada yang disuruh bawa nasi hati-hati banyak kerikil (nasi kuning campur kacang), nasi 4T (tahu, tempe, telor & terong), air mineral merek Honda dan kursi goyang (alas duduk dari koran). Atau disuruh bawa terigu, wortel, kol, cabe rawit dan minyak kelapa, semua barang tersebut tidak lebih dari Rp 1000,- . Nyusahin banget. Padahal tinggal bilang saja, “Bawa bala-bala.”
Apa susahnya coba bilang gitu?
Ah, dasar tabiatnya pingin nyusahin orang, jadi dibikin aneh-aneh. Lalu barang-barang tersebut dikumpulkan dan dinikmati bareng-bareng oleh panitia. Mereka gembira dan bersuka ria, sementara para junior berada dalam tekatan dan ketakutan luar biasa. Pokoknya nyulitin deh.
Belum lagi ada aturan kudu minta tanda tangan senior (yang gak penting itu) sebanyak-banyaknya. Mana minta tanda tangannya susah banget, ada syaratnya, kudu begini dan kudu begitu. Ada yang disuruh jalan bebek, jalan jongkok, push up, skot jump, menari, berdiri di tengah lapang, meluk tiang bendera, pacaran sama tiang listrik dll. Atau diuruh nyanyi dengan hurup pokal A semua, E semua, O semua, I semua atau U semua. Misalnya nyanyiin lagu Balonku Ada Lima dengan hurup pokal E semua. Judulnya jadi Belenke Ede Leme. Coba nyanyikan..
Belenke ede leme
Repe-repe wernenye
Hejew, keneng, kelebe
Mereh mede den bere
Meletes belen hejew, DER!
Belenke tenggel empet
Ke pegeng eret-eret
Nyusahin banget deh! Apa manpaatnya coba? Mana unsur pendidikannya? Apakah ini yang dinamakan pendewasaan? Benarkan ini cara untuk mendidik agar lebih disiplin? Untuk mencerdaskan? Omong kosong. Justru dengan melakukan ini semua, para siswa atau mahasiswa baru bukan semakin cerdas, melainkan tambah malu dan minder. Jadi bahan obok-obokan dan olok-olokkan. Bener tho?
Harusnya bikin acara dengan kemasan yang baik dan bermanfaat. Kreatip dikit gotu loh! Coba berpikir dan cetuskan gagasan baru. Inopatip. Solutip. Benar-benar mendidik dan mendewasakan. Bukan budaya perpeloncoan yang digalakan dan diulang-ulang setiap tahunnya. Ini namanya pembodohan terrencana. Bahaya.
Budaya perpeloncoan sebenarnya sudah ada sejak penjajahan Belanda dulu. Praktek peloncoisme ini sudah dilakukan di sekolah yang bernama STOKING, eh STOVIA maksud saya, atow School Tol Opleiding Van Indische Artsen. Sekolah ini berdiri tahun 1902 yang merupakan perubahan dari SDD, yakni Sekolah Dokter Djawa. Lama kuliahnya 3 tahun.
Pada masa itu adik kelas jadi anak buah kakak kelasnya. Ada tugas khusus bagi mereka, yaitu harus membersihkan rauangan kakak kelasnya. Pelonco berlanjut ke jejenjang berikutnya di GHS atow Geneeskundinge Hooge School, yakni sekolah kedokteran yang sekarang jadi FKUI (fakultas Kedokteran UI) Salemba. Semenjak itu praktek perpeloncoan jadi semakin legal.
Nah, dengan demikian budaya peloncoisme ini adalah duplikat dari sistem pendidikan ala penjajah. Berarti kita ngikut cara jahiliyah yang sama seperti dilakukan oleh para penjajah kolinialisme zaman Belanda dulu. Apakah benar, cara ini bertujuan untuk mendidik dan mencerdaskan? Mendewasakan dan membuat lebih disiplin? Ah, rasanya tidak tepat. Yang lahir justru pembodohan dan dendam kesumat.
Para junior yang tahun berikutnya jadi senior, kembali melakukan hal yang serupa. Ada dendam di sana. Ada kesumat yang harus dilampiaskan kepada junior. Seperti hukum alam yang tak bisa ditawar lagi. Balas dendam.
Bila sistem ini dibiarkan terus, bisa berabe. Karena akan menjadi tradisi yang terus berlanjut dan turun menurun. Warisan. Bahaya. Warisan model gini mesti dipangkas sampai tuntas. Dihentikan dan dikubur dalam-dalam. Lebih baik ganti dengan pormat acara yang jauh lebih bermanpaat.
Kemasana acara program pengenalan studi harus rapi. Tidak cukup hanya tujuan yang bagus. Tapi niat dan caranya juga kudu bagus. Baik dan benar. Mari berantas budaya ploncoisme dan ego senioritas yang negatif. Ganti dengan kemasan acara yang jauh lebih baik, mulia dan berpahala. Pati bisa. Yakinlah..
Jauhar Al-Zanki, Penulis Buku Agar Hati Tak Salah Mencintai
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar