Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Ferdinand Hindiarto menilai maraknya tawuran pelajar akibat pendidikan di sekolah yang tak menanamkan empati pada siswa.
"Kurikulum pendidikan sekarang ini hampir tidak memberi porsi penanaman empati, rasa, dan pengolahan hati di kalangan siswa. Semua cenderung mementingkan aspek akademik," katanya, di Semarang, Jumat (28/9/2012).
Menurut dia, penanaman empati kepada kalangan siswa sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa saling menghormati, saling memahami, dan saling menyayangi, tetapi sayangnya porsinya dalam kurikulum minim.
Kalaupun ada penanaman empati, kata dia, cenderung diberikan sebatas pengetahuan yang tentu tidak akan efektif, sebab empati berkaitan dengan rasa yang harus ditanamkan, bukan hanya sekadar diajarkan.
Ia mengungkapkan cara menumbuhkan empati di kalangan siswa banyak sekali, misalnya program live in yang mengharuskan siswa tinggal sementara dan membaur dengan kalangan masyarakat kurang beruntung.
"Bisa pula dengan mengajak melihat kehidupan anak jalanan, pengamen, atau menjenguk temannya yang sakit. Di situlah empati akan muncul, merasakan penderitaan orang lain, sulitnya mencari uang," katanya.
Tidak adanya empati di kalangan siswa yang sedemikian parah, kata dia, ditunjukkan dengan pengakuan salah satu pelaku tawuran yang mengaku puas setelah membunuh, saat ditanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
"Ini sangat parah, sudah tidak ada lagi perasaan. Penyelesaian secara hukum perlu, tetapi kan sifatnya jangka pendek, untuk penyelesaian jangka panjang ya kurikulum pendidikan harus dibenahi," katanya.
Ferdinand mengakui anak-anak sekarang ini memikul beban yang berat karena pembelajaran sekolah yang terus menggelontor materi-materi akademis, di sisi lain mereka juga sedang mencari bentuk konsep diri.
Padahal, kata dia, pencarian bentuk konsep diri bagi anak usia remaja bukanlah hal yang gampang, namun memerlukan banyak bimbingan dan panduan, baik dari orang tua, keluarga, dan guru-guru di sekolah.
"Mereka (remaja, red.) butuh berekspresi dan beraktualisasi dalam pencarian konsep diri. Namun, banyak sekolah tidak menyediakan ruang untuk itu. Akhirnya, mereka menyalurkannya lewat tawuran," katanya.
Pada saat yang sama, kata dia, masyarakat dan lingkungan juga tidak mendukung dalam pencarian konsep diri, seperti aksi kekerasan di masyarakat yang disuguhkan sebagai pemandangan sehari-hari bagi kalangan remaja.
"Demonstrasi ricuh, sweeping berujung bentrok. Ini kan pemandangan sehari-hari yang disuguhkan, akhirnya mereka (remaja, red.) menganggap kekerasan seolah-olah boleh. Kekerasan jadi solusi," katanya.
Sumber: Kompas.com