Cublak-cublak suweng/Suwengé ting gulèndhèr/ Mambu ketundung gudhèl/ Pak jempol léda ledé/ Sapa nggawa ndelikaké/ Sir... sirpong dhelé gosong sir/ Sirpong dhelé gosong
Sebuah lagu dari zaman dahulu. Lagu itu penuh kenangan dan biasa dinyanyikan orang pada waktu kita masih kecil. Rasanya lagu-lagu dolanan kini telah ditelan zaman. Jarang kita jumpai kembali dolanan atau permainan anak yang mampu membantu perkembangan anak selain dari bangku sekolah.
Padahal, dunia itu sekolah kami, semesta itu laboratorium kami, kehidupan itu pustaka kami, siapa pun itu adalah guru kami. Artinya, kita bisa mendapat pengajaran bukan hanya dari bangku sekolah, melainkan juga dari lingkungan di sekitar kita, bahkan ketika kita bermain.
Ada nilai edukasi tersendiri ketika kita mengetahui makna-makna dolanan. Ada ratusan permainan yang jarang lagi bisa kita temui. Padahal, setiap permainan juga mempunyai makna tersendiri. Seni permainan anak-anak nasibnya tidak semanis dulu. Kini sulit kita jumpai kegembiraan anak-anak yang berdendang jamuran, soyang, atau cublak-cublak suweng kala rembulan bersinar terang.
Anak-anak lebih suka menonton televisi daripada keluar rumah, bermain di bawah sinar mentari. Ini gejala memprihatinkan. Setidaknya peristiwa semacam itu bagi generasi tua hanya akan menjadi kenangan. Sebab, generasi selanjutnya tidak lagi melakukan permainan kreatif tersebut.
Perkembangan seni permainan bak berjalan mundur sehingga kian tidak dikenali anak-anak masa kini. Sebenarnya konsep dalam sebuah permainan itu berawal dari peninggalan sejarah sejak Ki Hajar Dewantara mulai memperkenalkan konsep ”sistem among” yang menggunakan dolanan anak (bahasa Belanda: kinder spellen) sebagai sifat kodrat semua anak untuk sarana pendidikan. Jadi, semua dolanan bertujuan membangkitkan rasa gembira dan kemerdekaan jiwa sang anak.
Lima nilai
Menurut Ki Hadi Sukatno, salah seorang penerima penghargaan seni dari Pemerintah Indonesia pada 6 April 1981, dolanan anak tradisional dapat dibagi menjadi lima nilai.
Pertama, mainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa, misalnya pasaran, mantenan, dayoh-dayohan, membuat rumah dari batu dan pasir, membuat pakaian boneka dari kain perca atau dari kertas, serta membuat wayang dari janur atau rerumputan. Saat permainan ini berlangsung, saking asyiknya anak-anak merasakannya sebagai perbuatan yang sungguh-sungguh.
Kedua, permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan. Permainan ini tanpa disadari anak-anak bertujuan melatih kekuatan dan kecakapan jasmani. Permainan itu misalnya tarik-menarik, berguling-guling, bergulat, berkejar-kejaran, gobak sodor, gobak bunder, bengkat, benthik-uncal, jethungan, genukan dengan gendongan, obrok, tembung, dan bandhulan. Jenis permainan ini masih banyak lagi yang tak dikenal oleh generasi masa kini.
Ketiga, permainan melatih pancaindera. Dalam permainan ini termasuk latihan kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan, memperkirakan jarak, menajamkan alat penglihatan dan pendengaran, serta menggambar.
Permainan semacam itu misalnya gatheng, dakon, macanan, sumbar-suru, sumbar-manuk, sumbar-dulit, kubuk, adu-kecik, adu-kemiri, main kelereng, jirak, bengkat, pathon, dekepan, menggambar di tanah, main petak umpet, main bayang-bayangan, dan serang-serongan. Permainan jenis kedua dan ketiga ini erat hubungannya dengan aktivitas olahraga.
Keempat, permainan dengan latihan bahasa, yaitu permainan anak-anak berupa percakapan. Setiap kali anak-anak berkumpul biasanya selalu terlibat dalam perbincangan tentang dongeng, cerita pengalaman, atau teka-teki yang menumbuhkan fantasi.
Biasanya tampil seseorang dengan teka-teki yang kemudian anak lainnya mengikuti sehingga tidak hanya bersikap pasif menebak, tetapi juga membalas mengajukan teka-teki sendiri. Ini tidak terbatas pada teka-teki yang sudah lazim, seperti pitik-walik saba kebon dan pong-pong bolong, tetapi bisa timbul teka-teki buatan sendiri yang orisinal. Di sinilah tumbuh kembangnya kecakapan bahasa dan kecerdasan otak.
Kelima, permainan dengan lagu dan wirama. Membicarakan ”dolanan anak” dengan lagu dan gerak wirama sangatlah luas dan banyak sekali ragamnya, misalnya jamuran, cublak-cublak suweng, bibi tumbas timun, manuk-manuk dipanah, tokung-tokung, blarak-blarak sempal, demplo, bang-bang-tut, pung-irung, bethu-thonthong, kidang-talun, dan ilir-ilir.
Pada zaman modern, permainan anak tradisional atau yang di daerah berbahasa Jawa biasa disebut dolanan bisa dikatakan terlupakan. Anak-anak sekarang lebih suka bermain PlayStation, internet, atau game online, yang kadang justru berdampak negatif terhadap perkembangan kepribadian mereka.
Anak-anak menjadi malas bergerak, bahkan ada beberapa yang ekstrem nekat membolos sekolah gara-gara kecanduan game.
Permainan tradisional pada umumnya mempunyai arti dan makna moral atau sikap yang baik terhadap perkembangan anak usia dini. Oleh karena itu, kita perlu menjaga dan melestarikan permainan tersebut.
Selain sebagai pelajaran moral terhadap anak, permainan tradisional merupakan warisan kesenian bangsa Indonesia yang mempunyai nilai tinggi. Jangan sampai kesenian tersebut justru dipelajari, bahkan diklaim sebagai milik budaya bangsa lain.
KOMPAS.com -
M Jamalludin Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus
Dani Ramdhan Peduli: Mengapa RIDHA SUAMI itu adalah SURGA bagimu wahai ...
-
Dani Ramdhan Peduli: Mengapa RIDHA SUAMI itu adalah SURGA bagimu wahai ...:
Suamimu dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun ketika
dia d...
11 tahun yang lalu